Pencitraan Ciri Khas Pemimpin Kapitalis-Sekuler.
Oleh: Mutiara Putri Wardana, Pemerhati Sosial Politik.
Beberapa waktu lalu, trending topic twitter posisi pertama ditempati oleh hashtag #BupatiKlatenMemalukan. Netizen nampak nya dibuat geram oleh tingkah sang Bupati yang kelewat narsis dengan menempelkan sticker wajahnya di bantuan sosial yang diberikan kepada masyarakat.
Tak lama berselang muncul lagi berita senada yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Yang memberikan bantuan sosial yang dikemas dengan tas bertuliskan ‘Bantuan Presiden RI Bersama Lawan Covid-19’. Di tas itu juga terdapat logo Presiden Republik Indonesia dan Kementerian Sosial serta cara-cara agar terhindar dari virus corona.
Bahkan seperti dilansir dari salah satu portal berita online, Menteri Sosial (Mensos) Juliari Batubara mengakui penyaluran bantuan sosial (bansos) berupa paket sembako untuk warga yang terdampak COVID-19 sempat tersendat. Dikarenakan harus menunggu tas pembungkus tersebut.
Dia mengungkapkan, pembungkus itu belum tersedia karena produsen tas tersebut mengalami kesulitan import bahan baku. Sehingga, menyebabkan distribusi bansos terkendala meski paket sembako sudah tersedia.
Sontak saja hal itu menjadi sorotan publik karena bansos itu dinilai seolah-olah bantuan yang dikeluarkan langsung oleh Presiden. Bahkan yang membuat miris penundaan pendistribusian sembako hanya dikarenakan tas yang teramat berharga tersebut. Padahal sumber dana bantuan sosial berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dipungut dari uang rakyat.
Kasus bansos dengan foto Bupati Klaten dan tas berlabel ‘Bantuan Presiden’ makin menegaskan bahwa penanganan wabah pun tak lepas dari politisasi untuk kepentingan kekuasaan. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa penguasa di negara kapitalis-sekuler saat ini terlalu disibukkan mencari panggung politik melalui ajang pencitraan.
Inilah cerminan bobroknya politik di sistem ini. Penguasa harusnya menjadi panutan dan berwibawa justru mempermalukan dirinya sendiri dengan melakukan hal-hal yang konyol dan tak sepantasnya. Mungkin inilah yang dinamakan mencari kesempatan dalam kesempitan.
Rakyat saat ini tak hanya berjuang melawan corona tapi juga berjuang dari ancaman kelaparan dan keamanan di negeri ini. Bukan saat nya pemerintah memikirkan kepentingan politiknya. Sudah cukup beban yang ditanggung rakyat, jangan lagi membodohi rakyat dengan menjadikan rakyat sebagai objek untuk mencapai kepentingan golongan.
Cerminan penguasa dalam sistem Islam akan berbanding jauh dengan tingkah laku dan pola pikir penguasa saat ini. Yang mana sistem Islam mampu menghadirkan pemerintahan yang benar-benar sadar akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai pelayan rakyat, bukan sebaliknya saat ini rakyatlah yang diharuskan melayani pemerintahnya.
Sosok pemimpin sejati berangkat dari pemahaman akan kewajiban terhadap amanah yang didapat dari rakyat dan semua itu akan dipertanggung jawabkan kelak dihadapan Allah. Bukan hanya dipertanggung jawabkan dihadapan Pemilu atau Pilpres ataupun Pilkada dan bukan sekedar untuk mempertahankan kekuasan apalagi ajang pencitraan.
Contoh pemimpin sejati dalam sistem Islam adalah Umar bin Khatab yang berjalan dikegelapan malam, memeriksa seluruh rakyatnya untuk memastikan tidak ada lagi hak rakyat terhadap penguasa yang terabaikan. Bagaimana beliau memanggul gandum di punggungnya dan dengan tangannya sendiri memasak untuk melayani seorang wanita dan anaknya yang kelaparan, warga negaranya, tanpa menyebutkan diri beliau seorang Amirul Mukminin dihadapan wanita itu.
Sebab, memimpin bukan agar dapat dianugerahi piala citra. Melayani rakyat bukan untuk memperoleh simpati, yang dengannya dijadikan modal untuk mempertahankan kekuasaan. Memimpin adalah melayani rakyat karena Allah, dimana setiap tindak tanduk dan kebijakan semuanya untuk mendapat ridho Allah semata.
Kepemimpinan Islam sudah merupakan fitrah bagi setiap manusia yang sekaligus memotivasi kepemimpinan yang Islami. Oleh karena itu seorang pemimpin yang mementingkan diri, kelompok, keluarga, kedudukannya dan hanya bertujuan untuk materi bukanlah kepemimpinan Islam yang sebenarnya meskipun si pemimpin tersebut berlabel Islam.
Pemimpin harus memiliki sifat takwa baik berkaitan dengan dirinya sendiri maupun dalam ri’ayah (pemeliharaan)-nya terhadap urusan rakyatnya. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).
Seorang pemimpin yang bertakwa kepada Allah, senantiasa ber-taqarrub kepada-Nya dan sadar senantiasa diawasi oleh Allah tentu tak akan berani mencari peluang di tengah penderitaan rakyat. Ini karena pemimpin sejati versi Islam harus terikat dengan perintah dan larangan Allah. Wallahu a’lam