Tidak diragukan lagi bahwa masalah ekonomi masyarakat akhir-akhir ini menuai perhatian khusus bagi Pemerintah dan organisasi masyarakat (Ormas) ditengah meluapnya wabah Corona di Indonesia. Sejumlah data statistik kesehatan setiap daerah makin meningkat dan sangat mengkhawatirkan kondisi sosial yang ada sekarang.
Maluku Utara dengan data dari Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Provinsi Maluku Utara, telah terpublikasi sekitar 23 April 2020, Pukul 16:00 Wit, dengan hasil Orang tanpa gejala (OTG) 193 Orang, Orang dalam pantauan (ODP) 239 Orang, Pasien dalam pengawasan (PDP) sebanyak 10 Orang, Positif sebanyak 14 Orang dan dinyatakan Sembuh 2 dua orang.
Perlu diketahui, pada umumnya penyebaran utama corona virus disease (Covid) baru ini, melalui kontak dengan orang yang terinfeksi saat mereka batuk atau bersin atau melalui kontak dengan tetesan air liur atau cairan/ lendir hidung orang yang terinfeksi.
Untuk itu, melihat perkembangan data diatas bisa dikatakan bahwa Maluku Utara akan menuju zona merah jika pemerintah provinsi dan kabupaten/kota tidak tegas untuk melakukan lockdown kabupaten/kota. Ini dimaksudkan agar menutup semua jalur transportasi baik darat, laut maupun udara. Jika semua akses itu ditutup maka pemerintah daerah harus siap menghadapi perkembangan ekonomi yang lambat bahkan bisa lumpuh total.
Dari situasi negara secara luas sangat sulit mengatasi penyebaran Covid-19 ini. Pemerintah pusat mengambil banyak langkah dan kebijakan baik secara sosial, ekonomi dan politik. Kondisi sosial masyarakat hari ini bisa dikatakan terhenti akibat kebijakan pemerintah yang meng-lockdown seluruh aktivitas individu, Masyarakat bahkan organisasi-organisasi di sektor ketiga guna untuk memutuskan mata rantai penularan Covid-19 ini.
Dengan demikian, terhentinya aktivitas sosial masyarakat sangat berpengaruh pada ekonomi dalam hal ini pendapatan ekonomi rumah tangga pada masyarakat kelas bawah yang kehilangan pekerjaan dan pendapatan akibat dari menyebarnya wabah Corona.
Sehingga dengan kondisi seperti itu, masyarakat pada umumnya membutuhkan peran organisasi negara (pemerintah) dan organisasi di sektor ke tiga (ORMAS, LSM, Organisasi Kepemudaan) dan Steckholder lainnya untuk berperan aktif dalam mengontrol kebijakan dan kebutuhan masyarakat melalui program identik organisasi masyarakat yaitu Advokasi.
Wabah Corona sangat berdampak pada ekonomi masyarakat. Bahkan negara hari ini membuat pemerintah pusat lebih khusus Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi mengeluarkan Peraturan Menteri Nomor 6 Tahun 2020 Tentang Perubahan Peraturan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal Dan Transmigrasi Nomor 11 Tahun 2019 tentang Prioritas penggunaan Dana Desa Tahun 2020. Lalu diterbitkannya kembli surat dari Direktorat jenderal pembangunan dan pemberdayaan masyarakat Desa Nomor: 10/PRI.00/IV/2020, Tentang Penegasan Petunjuk Taknis Pendataan Calon Keluarga Penerima BLT Dana Desa.
Dua keputusan kementrian Desa diatas adalah acuan induk dalam penanganan perekonomian masyarakat di tingkat paling bawah (kategori keluarga miskin) yang akan tersentuh langsung oleh tangan pemerintah pusat melalui Dana Desa dengan Program BLT (Bantuan Langsung Tunai), melalui perpanjangan tangan lewat pemerintah Daerah kabupaten/kota dan pemerintah Desa. Artinya bahwa, Pemerintah daerah dan desa sebagai pelaksana teknis dalam melakukan pendataan sampai pada tahapan penyaluran bantuan untuk mengatasi ekonomi masyarakat yang kurang mampu.
Tidak sebatas melihat kondisi masyarakat yang kurang mampu, dalam permendes nomor 6 tahun 2020 juga ditegaskan pada BAB V Huruf Q Point 3 huruf A Halaman 79, bahwa Sasaran penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah keluarga Miskin Non-PKH / Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) antara lain:
1) Kehilangan Mata Pencaharian
2) Belum Terdata (exclusion error’) dan
3) Mempunyai anggota keluarga yang rentang sakit menahun/kronis.
Bukan hanya itu, dalam BAB V huruf Q permendes no 6 tahun 2020 halaman 80 juga ditegaskan tentang jangka waktu dan besaran penerima BLT Dana Desa bahwa ;
1) Masa penyaluran BLT-Dana Desa selama 3 (tiga) bulan terhitung sejak April 2020, dan
2) Besaran BLT-Dana Desa Per bulan sebesar Rp. 600.000.00, (Enam ratus ribu rupiah) Per Keluarga.
Ini sama halnya bahwa, disini kita butuh peran Organisasi sektor ke tiga, (Kelompok Sosial, ORMAS, LSM) agar mampu berperan aktif dalam mengawal kebijakan (pemerintah pusat) dalam pembagian bantuan bagi masyarakat kurang mamp atau kategori keluarga miskin yang kehilangan pekerjaan dan pendapatan di saat dunia sedang di serang Wabah Corona.
Sebab dengan perkembangan penyaluran bantuan di beberapa desa, menurut hemat saya, banyak tidak tepat sasaran dan bahkan bentuk bantuannya berupa sembako. Tidak jadi masalah, sebab surat dari Direktorat jenderal pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa telah memberikan opsi kepada pemerintah desa sesuai dengan yang tertera pada point 6 yang di terbitkan pada 21 April 2020.
Dimana menjelaskan bahwa, “Penyaluran BLT-DD dari APBDes dapat dilakukan secara Tunai atau non-tunai kepada penerima BLT-DD”. Akan tetapi dalam surat Dirjen Pembangunan dan pemberdayaan desa ini tidak dibicarakan angka nominal yang seperti di jelaskan dalam permendes no 6 tahun 2020 BAB V huruf Q, halaman 80 tentang jangka waktu dan besaran penerima BLT-DD.
Adapun kebijakan yang diambil oleh pemerintah desa bahwa, tidak ada ketersinggungan maka BLT-DD ini harus di bagi rata kepada masyarakat desa. Bagi saya, ini menjadi pelanggaran besar karena tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang telah di tetapkan. Bahkan beberapa prosedur sepert yg sudah ditetapkan dalam permendes pun sengaja di abaikan oleh pemerintah desa.
Misalnya dalam permendes no 6 Bab V huruf Q point 3 huruf B, tentang mekanisme pendataan, point 3 bahwa, “Hasil pendataan keluarga miskin dilakukan musyawarah Desa khusus/Musyawarah insidentil dilaksanakan dengan agenda tunggal yaitu validasi dan vinalisasi data. Tetapi tahapan ini tidak di lakukan sama sekali (Monopi Bantuan).
Problem diatas, masyarakat secara diam-diam sangat membutuhkan kehadiran organisasi sektor Ke Tiga (kelompok sosial, Ormas, LSM, Kepemudaan) untuk berperan mengontrol kebijakan pemerintah agar benar-benar terarah dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Jika tidak, banya pihak yang akan memanfaatkan kondisi ekonomi ini sebagai kepentingan pribadi. Sehingga sebagai kalangan civil society patut mencurigai kekuasaan bahkan ditingkat paling kecil sekaligus (Pemdes).
Sebab jika diperhatikan dan dikaitkan dalam istilah, Politik kemanusiaan sebetulnya keputusan menteri desa Abdul Halim Iskandar dengan program BLT_nya bisa dibilang itu bagian dari aktivitas politik Filantropi (politik mencintai sesama manusia). Sebab menyangkut dengan harga diri keluarga yang dikategorikan miskin sehingga tidak harus di pamerkan ataupun melalui buku rekening (jika diupayakan sebisa mungkin) sehingga tidak memerlukan simpati Publik.
Maka bisa menjaga harga diri penerima BLT yang di dalam kategorinya harus Keluarga Miskin, dan pasti tidak akan terekspos ke publik identitas penerima BLT tersebut. Sehingga dalam hal kemanusiaan kita bisa menjaga harga diri keluarga penerima BLT-DD (keluarga miskin). Sementara keputusan Pemda dan pemdes lebih memilih sembako, walaupun tidak jadi masalah.
Tetapi dari sudut pandangan saya, ada unsur politik dan elektabilitas di dalam sembako. Karena dengan momen pilkada yang ada di depan mata dan elektabilitas petahan yang harus di angkat maka harus di pamerkan ke ruang publik sebagai aksi kemanusiaan. Walaupun kemanusiaannya palsu, disebabkan yang dilihat adalah tingkah laku kemanusiaan yang mencari Simpati terhadap orang banyak (Politik Karitas). Demikian.
Wallahul Muwaffiq ila Aqwamit Tharieq.
Penulis: Abd. Rifky Kasibit (Sekretaris Umum PC PMII Kota Ternate).