Oleh
Bahrun Mustafa
(Kordiv Hukum,Pengawasan dan Partisipatif Masyarakat PANWASCAM Kepulauan Botang lomang)
Pemilihan umum diadakan dengan tujuan untuk perwujudan dari suatu negara yang menganut sistem demokrasi. Bagi Indonesia, pemilu merupakan suatu tolak ukur berjalannya sebuah pemerintahan dengan terciptanya demokratisasi, karena itulah pemilu harus dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi sebagaimana diatur dalam UUD 1945 yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, sesuai dengan kaidah-kaidah penyelenggaraan pemilu. Terkait dengan hal demikian, maka pentignya untuk mewujudkan pemilu yang berintegritas. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka keseluruhan komponen harus bekerjasama baik penyelenggaraan pemilu itu sendiri yang meliputi regulasi yang mengaturnya, penyelenggara pemilu, birokrasi, partisipasi politik masyarakat, serta partai politik atau peserta pemilu lainnya, dimana bekerjasama sesuai dengan prinsip-prinsip atau parameter pemilu yang demokratis.
Ramlan subakti dalam bukunya dengan judul Perekayasaan System Pemilu Untuk Pembangunan Tata Politik Demokrasi. Menyatakan bahwa pemilu sebagai instrument yang dirumuskan sebagai mekanisme pendelegasian Sebagian kedaulatan dari rakyat kepada peserta pemilu dan/atau calon anggota DPR,DPD,DPRD,Presiden/wakil Presiden dan kepala daerah/wakil kepala daerah untuk membuat dan melaksanakan kepemiluan politik sesuai dengan kehendak rakyat.
Penyelenggara pemilu sebagaimana dalam ketentuan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu, yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu yang bertugas melaksanakan pemilu dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang bertugas mengawasi penyelenggaraan pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilu untuk memilih anggota anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat, serta untuk memilih gubenur, bupati dan walikota secara demokratis.
Menjelang tahun politik 2024 mendatang, kita akan dihadapkan dengan berbagai tantangan-tantangan dalam penyelenggaraan pemilu diantaranya yaitu, money politics dan black campaign, transaksi politik, profesionalitas penyelenggara pemilu, kualitas dan kapabilitas peserta pemilu atau partai politik, apatisme dan pragmatisme dalam partisipasi politik masyarakat serta konflik horizontal.
Badan Pengawas Pemilu atau Bawaslu yang merupakan salah satu lembaga negara penyelenggara pemilu memiliki tugas mengawasi seluruh proses dari awal hingga akhir berlangsungnya pesta demokrasi yang nantinya akan dihadapkan dengan berbagai tantangan tersebut. Hal ini tentu memerlukan pengawasan yang intens secara nasional baik di tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan sampai pada tingkat desa/kelurahan yang masing-masing telah diberikan tugas sesuai ketentuan undang-undang pemilu, Tanpa adanya pengawasan dikhawatirkan dalam penyelenggaraan pemilu terdapat penyimpangan-penyimpangan yang dapat mengancam prinsip-prinsip luber dan jurdil yang sudah diamanatkan dalam UUD 1945 sehingga mengancam kehidupan demokratis. Adanya pengawasan merupakan komponen untuk menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemilu, selain juga untuk terjaminnya penyelenggaraan pemilu secara mandiri dan independen sekaligus terciptanya mekanisme checks and balances sehingga pemilu yang demokratis dapat terwujud.
Pengawasan yang efektif untuk menghadapi pemilu 2024 dengan jumlah penduduk indonesia yang telah di rilis secara resmi oleh Direktorat Jenderal (Ditjen) Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) tercatat sebanyak 275.361.267 jiwa. Hal tersebut menjadi adanya peningkatan jumlah manusia yang cukup signifikan, tentu ini perlu adanya peran serta partisipasi masyarakat secara aktif dan kritis, karena tanpa peran serta masyarakat akan menimbulkan praktik-praktik penyimpangan pemilu secara terbuka.
Permasalahan dari satu pemilu ke pemilu lainnya selalu muncul dengan permasalahan yang berbeda-beda, yang dampaknya jugapun berbeda-beda sehingga dapat mempengaruhi kurang demokratisnya penyelenggaraan pemilu, bahkan dapat mencederai pemilu itu sendiri.
Bawaslu telah merilis pemetaan data Indeks kerawanan pemilu (IKP) pada tingkat provinsi dan kabupaten kota pada 16 desember 2022 lalu. Di tingkat provinsi, ada lima wilayah (15 persen) yang masuk kategori kerawanan tinggi, yakni yang pertama; Provinsi DKI Jakarta dengan skor 88,9, kedua; Sulawesi Utara (87,48), ketiga; Maluku Utara dengan skor (84,86), keempat; Jawa Barat dengan jumlah (77,04), dan Kalimantan Timur dengan skor (77,04). Sementara sebanyak 21 provinsi (62%) masuk kategori kerawanan sedang dan delapan provinsi (24%) berkategori kerawanan rendah. Sementara di tingkat bupaten/kota juga ditemukan yang paling banyak adalah daerah dengan kategori kerawanan sedang, yakni sebanyak 349 kabupaten/kota (67,9%). Kemudian daerah yang masuk kategori kerawanan tinggi mencapai 85 kabupaten/kota atau sekitar 16,5% Terakhir, sebanyak 80 kabupaten/kota dengan skor (15,5%) masuk kategori daerah dengan kerawanan rendah. Meskipun banyak wilayah yang tidak termasuk kerawanan tinggi pemilu, bukan berarti potensi kerawanannya tidak ada karena indeks kerawanan ini diletakkan sebagai upaya mitigasi Bawaslu khususnya dan bagi masyarakat secara umum.
can you buy priligy online Conclusion Proliferation inhibition and apoptosis in MCF 7 TAM R cells increase with increasing dosage of canertinib